HEFRA LAHALDI (10) : ”Ketuhanan yang maha Esa demi kepemimpinan berdampak”

Minggu, 15-Agustus-2021, 08:38


“kenapa negara-negara lain maju, karena mereka (negara) itu takut dengan negara pesaing. Kenapa Indonesia tidak maju-maju, tuhan saja tidak pernah ditakuti” (Prof Salim Said)

Ketika menjelang wafatnya, Umar bin Khattab berpesan untuk tidak memasukkan nama Abdulah bin Umar sebagai calon pengganti kepemimpinan kaum muslimin kedepan.
Alasannya cukup satu Umar saja dari garis keluarganya yang berat menjawab pertanyaan pertanggung jawaban dari tuhannya kelak. “Apa yang akan dikatakan Umar dihadapan Rabb-nya” begitu kalimat yang selalu keluar dari mulut Amirul mukminin ini dalam setiap kebijakannya.

Dari awal masa kepemimpinan Umar dan juga khalifah pendahulunya dilandasi dengan konsep ketuhanan. Konsep itu adalah sebuah rasa takut akan pertanggung jawaban kepemimpinannya kelak diakhir kesudahan.

Ketika kita menafsirkan sila pertama dari pancasila Ketuhanan yang maha Esa. Pertama; bahwa setiap kepemimpinan yang hadir bagi seseorang adalah bukan hanya sekedar dari upaya dan kuasanya semata. Sangat amat bermasalah ketika menafsirkan apa yang kuasakan atas energi dan upaya nya sendiri. Menafikan peran tuhan disana. Pada puncaknya nanti justru malah mempertuhankan kekuasaan. Padahal sejarah tidak akan pernah ramah dengan orang-orang yang mengambil peran tuhan..
Kedua; ketika kita memahami bahwa kepemimpinan dengan konsep ketuhanan. Maka, kita memilih untuk menjadi orang-orang yang memikul beban kepemimpinan itu. Kekuasaan yang dicita-citakan adalah semata-mata menjadi perwakilan tuhan atas setiap perintah-Nya.

Kita tidak mencari yang lain dengan kekuasaan itu selain kebaikan bagi diri kita diakhirat kelak. Bukan sekedar popularitas dunia atau arogansi atas kemewahan dan kekuasaan. Semakin besar beban kekuasaan semakin besar pertanggung jawaban nantinya. Semakin besar pula peluang posisi kita diakhirat kelak. Surga tertinggi atau neraka terdalam. Itu konsekuensinya.. tak ada pilihan lain..

“Sungguh aku sangat takut dengan neraka”.. ini adalah kalimat yang diucapkan oleh Umar bin Abdul Aziz. Keturunan Umar sebelumnya. Takdir berkata lain. Yang dahulu Umar bin Khattab menolak dari kalangan keluarganya untuk kembali memikul beban kepemimpinan. Justru Allah swt lebih tahu kepada pundak siapa beban ini harus dipikulkan..

Dari kalimat Umar bin Abdul Aziz kita memahami bahwa lagi-lagi konsep kepemimpinannya adalah berdasarkan ketuhanan. Ia memulai kepemimpinannya dengan melompat jauh ke akhir kesudahan kekuasaan atau kehidupannya kelak.

Dari kalimat pembuka itu Umar bin Abdul Aziz mengambil langkah untuk merubah dirinya sendiri terlebih dahulu. Dari seorang yang begitu mewah dalam kehidupannya ketika menjadi gubernur menjadi begitu memprihatinkan ketika menjabat pemimpin tertinggi Bani Ummayah. Beliau mahfum bahwa akan banyak yang diubah dari warisan kepemimpinan Bani Ummayah sebelumnya. Dan itu sangat membutuhkan energi yang begitu besar. Kekhawatiran akan hari akhir kelak menjadi sebuah energi yang begitu besar bagi dirinya untuk melakukan tugas-tugasnya sebagai pemimpin. Tidak kurang selama 2,5 tahun Umar bin Abdul Aziz berhasil melakukan perubahan-perubahan yang dicita-citakan tersebut.

Beliau wafat dengan usia yang relatif masih muda belum lagi genap 40 tahun. Dimana usia ini justru dianggap menjadi tahun-tahun awal kebijaksanaan atau kepemimpinan. Tetapi justru Umar bin Abdul Aziz sudah melampaui itu semua pada usia dibawah itu.

“Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan dimuka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” ini adalah ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Umar bin Abdul Aziz menjelang wafatnya. Apa maknanya. ?!

Pertama; catatan sejarah tidak sedikit tentang kehancuran orang-orang yang sombong dengan kekuasaan atau kekayaan yang mereka miliki. Mereka menafsirkan bahwa kekuasaan dan kekayaan yang mereka miliki adalah mutlak dari daya dan upaya mereka sendiri. Terlalu berat bagi seorang pemimpin atau raja pada masa lalu untuk menerapkan konsep ketuhanan. Begitu pula yang diungkapkan oleh Abu Jahal ketika diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi Wa salam tentang konsep bertuhan dengan mengucapkan syahadat.. “Sungguh wahai Muhammad” ujar Abu Jahal. “Itu adalah kalimat yang paling dibenci oleh para raja sebelum-sebelumnya”..

Kedua; kekhawatiran pada negeri akhirat itu menjadi sebuah motivasi sekaligus energi besar untuk menggerakkan setiap langkah dan kebijakkan kepemimpinannya. Ketakutan inilah yang ujar Ustadz Anis Matta menjadi sebuah “Semangat Pertanggung Jawaban” yang sedari awal menjadi pilihan kita untuk meraih kekuasaan. Konsekuensi negeri akhirat lagi-lagi menjadi syarat untuk kita tidak bermain-main dalam kepemimpinan.

Semangat pertanggung jawaban itu bisa saja didorong dari hajat kita bersama untuk menentukan atau memilih siapa pemimpin kedepan misal sosok Anis Baswedan atau
Raffi Ahmad. Titik temunya tentu saja adalah semangat personal masing-masing calon tersebut untuk memikul beban bersama. Ketika kita semua menemukan motif yang benar dan niat yang lurus dalan menentukkan pemilihan kedepan maka itu harus dituntaskan. Semangat ini bukan sekedar guyonan atau rasa putus asa, kecewa dan kemarahan. Kepemimpinan harus dilandasi kesadaran dan berketuhanan.. kesadaran akan beban besar untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..

Hari-hari kedapan tidak ada yang bisa memprediksi. “bangsa yang tidak dapat menghadapi tantangannya sendiri dengan caranya sendiri dipastikan akan mudah bubar” ucap Prof Salim Said. Kapitalisme suka atau tidak suka setidak sudah mampu memberi kesejahteraan pada dunia dibanding ideologi lainnya walau dengan kurun waktu yang cukup lama untuk mewujudkan itu. Ujar ustadz Anis. Dibanding Umar bin Abdul Aziz yang hanya membutuhkan waktu 2,5 tahun dengan usia kepemimpinan yang relatif sangat muda. Tapi lagi-lagi, tantangan kedepan belum ada yang bisa memprediksi. Kita meyakini semangat berketuhanan ini adalah konsep awal untuk mewujudkan apa yang kita cita-citakan..

Semangat kepemimpinan yang berketuhanan ini menjadikan kita lebih energik dan lebih bebas untuk bersama-sama mewujudkannya dengan berlandas kepada Persatuan Indonesia..

Selamat hari lahir pancasila 1 Juni 2022


=================÷=

HEFRA LAHALDI (9) : “Hari Pendidikan Nasional, Hari-hari Guru Penggerak Kedepan”

Ketika Jepang jatuh pada perang dunia II, Kekaisaran tidak terburu menghitung berapa besar kerugian material negara atau korban jiwa yang jatuh atas serangan sekutu dan nasib Jepang pada masa akan datang. Tetapi, Kaisar menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa akibat serangan hebat menyejarah tersebut.

Dari pengalaman Jepang ini kita mengisnyafi bahwa peran guru adalah merupakan sebuah agen perubahan dan fasilatator akan kebangkitan sebuah peradaban.

Kita menyadari, menjadi agen perubahan bukanlah suatu hal yang mudah. Akan dituntut kesemua potensi dalam diri kita yang menjadi instrumen dasar sebagai fasilitator terhadap perubahan dan kebangkitan yang ingin dicapai.

Guru bukanlah hanya sekedar jabatan profesi. Tetapi, lebih kepada ruh perubahan itu sendiri. Maka, akan banyak diperlukan informasi-informasi baru serta ilmu pengetahuan yang harus terbarukan dimiliki oleh profesi ini memikul amanah sebagai agen dan fasilitator membangkitkan peradaban.

Semangat terhadap ilmu pengetahuan itulah yang mendorong agenda program guru penggerak. Kita tidak bisa dikatakan sebagai fasilitator jika kita tidak mampu menjembatani antara tujuan pendidikan dan masyarakat terdidik kita dengan kemajuan cara berpikir yang terus didiskusikan dan diaplikasikan oleh profesi ini.

Guru penggerak inilah, menurut hemat kami menjadi jembatan atau bahkan jalan yang harus dititi dan dititiskan bagi seorang guru ketika disekolah maupun pada masyarakat umum menjadi penggerak perubahan yang masif itu sendiri. Memfasilitasi sekolah dan masyarakat untuk lebih unggul.

Kompetensi dan potensi pribadi harus betul dipahami oleh seorang guru. Potensi untuk mengembangkan diri pribadi dan orang lain untuk terus bergerak kearah perbaikan terus menerus. Ini lah tugas kompetensi guru penggerak sebagai pemimpin-pemimpin pendidikan nantinya. Mutu dan kualitas pemimpin ini harus lebih unggul. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas menjadi kewajiban yang harus ditunaikan. Itu syarat awal untuk mempimpin perubahan…

Tentu saja, sesuai fakta tidak semua guru mendapatkan informasi dan ilmu pengetuhan baru karena keterbatasan berbagai hal. Padahal, bab ini penting untuk menjalankan kompetensinya sebagai guru secara proporsional.

Beranjak dari fakta diatas, akan banyak guru yang mendaftar mengikuti program guru penggerak ini. Sebagai bentuk inisiatif mengambil peran agen perubahan pada ekosistem pendidikan disekolah dan berkolaborasi nyata dengan unit sekolah maupun diluar unit sekolah sebagai tim kesatuan utuh mengawal pendidikan yang berpihak kepada siswa.

Menjadi agen perubahan bukanlah hal yang mudah, tentu saja akan banyak kendala dan tantangan yang dihadapi. Justru tantangan dan kendala itulah yang menjadi alat untuk terus menguji inovasi dan daya kritis berpikir kita sebagai pejuang pendidikan.

Dengan adanya antusias guru untuk mengkaji informasi dan mencari ilmu pengetahuan baru pada program ini akan menjadi nilai tersendiri bagi keseriusan pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan dalam mengubah paradigma pendidikan nasional dapat terwujud dengan salah satu instrumen andalannya yaitu program guru penggerak..

Kita menyadari kerja besar ini tidak dapat dipikul dengan beberapa orang saja. Dibutuhkan kolaborasi yang besar pula untuk melaksanakannya. Kolaborasi itu juga tidak akan terwujud jika kualitasnya rendah

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2022

=================

HEFRA LAHALDI (8) : ”Merambah Peradaban Teks”

“Saat ini, kami memiliki 30 buku peninggalan peradaban Islam Andalusia. Dari buku-buku itu saja kami berhasil mengetahui bagaimana cara meneliti atom. Bagaimana jadinya jika kami memiliki 500 buku yang dahulu sempat dibakar nenek moyang kami. Jika saja kami tidak membakarnya, hari pasti kami sudah berpergian keruang angkasa” (Pierre Curie, Fisikawan Prancis. 1859-1906)

Tentu saja, yang dimaksud sang Fisikawan sesoal pembakaran buku adalah peristiwa perang Salib yang pernah mengintrupsi sejenak keemasan perabadan Islam pada masanya..

Jauh sebelum apa yang disampaikan Pierre, bangsa Mongol pernah menjadi simbol peristiwa yang tak ramah terhadap buku-buku dan ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan. Invasi mereka kedunia Islam menghancurkan seluruh kota bahkan menyebabkan hilangnya begitu banyak koleksi perpustakaan. Tesebab, kegilaan pasukan terhadap pembantaian menggunakan manuskrip dan buku-buku sebagai bahan bakar atau sekedar menghangatkan dikala malam..

Begitu juga terhadap kebudayaan bangsa Moor di Andalusia. Yang direkam oleh Pierre diatas. Juga punah atas ulah tentara salib yang terlalu terbelakang terhadap pengetahuan sehingga menganggap sebagian besar buku-buku adalah hal yang berbahaya bahkan mengandung ilmu-ilmu mistik bagi terhadap orang-orang yang mereka anggap kafir.

Peran mistik ini bisa kita jelajah sebagai mana yang ditulis oleh sejarawan barat Phillip K Hitti. Ketika Harun Al-Rasyid pemimpin dari Bani Abbasiyah mengirim hadiah kepada bangsawan kristen Eropa sebuah jam bandul besar. Para uskup dan pendeta justru ramai berkomat-kamit menyenandung doa dan menjauhkan sang raja benda yang dikirim sebagai hadiah. Adalah mistik bagi mereka ketika bandul jam bisa bergerak sendiri tanpa disentuh. Hadiah sultan Abbasiyah dikembalikan kembali kepada empunya. Disambut geleng-geleng kepala dari para ilmuwan Bani Abbasiyah..

Tentu saja, kedua peristiwa tersebut adalah hari penghakiman terhadap buku-buku dan ilmu pengetahuan. Tapi setidaknya, dari hari penghakiman tersebut, dalam konteks ilmu pengetahuan. Kekosongan yang pernah terjadi pasti akan terjembatanin. Semisal, pada saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dunia barat yang akhirnya lebih melaju lebih cepat dan pesat.

Masa penakhlukan dunia Islam pada masa silam tidak lah dengan mudah menyingkirkan alam berpikir manusia dengan membakar manuskrip atau buku-buku yang bisa jadi sebagai ghanimah. Semisal peristiwa Qadisiyah yang menaklukan Persia masa Umar bin Khattab tidak lah dengan mudah menjustifikasi ilmu pengetahuan dari Persia kesemuanya sebagai mistik nan berbahaya. Ada yang mesti diterjemah walau menunggu masa yang cukup lama dengan menjaga akidah..

Bisa saja kita sedikit sependapat dengan tokoh semisal Pramudya Ananta Toer. “Membakar buku adalah perbuatan iblis” laknat memang jika menghanguskan sebuah karya seseorang yang berbeda pandang. Bukankah buku dibalas buku, ilmu berbalas ilmu.

Atau, dalam konteks lain cara menyingkirkan alam berpikir kita dengan menggunakan power aparat merazia atau pelarangan buku-buku tertentu yang dianggap berbahaya. Menggunakan aparat sebagai alat penyingkiran ilmu bukanlah hal bijak. Kapasitas ilmu mesti diberikan kepada akademisi yang mumpuni, sehingga mampu menjembatani buku-buku terhadap cara berpikir kita. Pergulatan dan perdebatan pikiran niscaya terlahirkan. Tetapi, lebihnya pergulatan dan perdebatan lebih terkawal.

Kemudian kita tak lagi hadir di masa silam. Terlebih pada dunia sekarang ini, yang arus jelajah informasi bacaan dengan mudah diakses. Justru pelarangan buku-buku lebih memberikan ruang penasaran kepada kaum muda yang dengan penuh semangat merambah peradaban teks. Mereka akan terus berselancar dengan bacaan-bacaan yang mereka suka. Pelarangan tak lagi menjadi sebuah alat yang efektif, justru kita mesti menjadi penanda, jeda, titik, atau koma dari apa yang mereka baca. Intinya kawal terus cara baca dan berpikir mereka kaum muda.. aaaah seolah saya sudah tua nan bijaksana..!!

Bagi kita aktivis gerakan islam atau semodel pendakwah terlepas wilayahnya sebatas sekolah buku adalah karib kerabat yang mesti terus membersamai. Karena memang tak elok bebicara sebelum ilmu dikuasai. Amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Dari semua buku-buku dan khazanah inilah yang menguatkan landasan pikiran. Dari setiap kalimat atau paragraf yang kita baca akan selalu ada lompatan kapasitas diri kita terhadap pemaknaan ilmu pengetahuan.

Dari masa silam dan keterangan Pierre kita hanya tahu sebanyak apa buku-buku yang tersisa,. Tidak pernah tahu sebanyak apa ilmu pengetahuan yang sempat tersia-sia pada masa sebelum bangsa barat menemukan masa ke-emasannya dengan sedikit penterjemahkan buku atau manuskrip yang mereka sita dari dunia Islam. Untung saja tak lenyap semua..

Merambah peradaban teks adalah syarat menggelombangkan kebangkitan dunia Islam. Ketika kita meyakini bahwa dasar kebangkitan adalah sebuah pikiran. Maka, buku adalah kerabat yang harus terus dijaga pada masa-masa selanjutnya.

Literasi akan terus menjadi alat gelombang kebangkitan pikiran dan juga sebagai alat kesadaran kesiapan menghadapi gelombang perusakan yang sama dihadirkan dari para penghajatnya. Pikiran dan kesadaran kita harus terus benderang mengahadapi hujah yang berseberang. Tanpa harus melakukan tindakan kekerasan terhadap buku-buku (red- pembakaran atau pengrusakan).

Bagai para pemikir muslim. Buku semisal yang diungkap oleh istri Imam Az-Zuhri pada kalimatnya “Sesungguh, aku lebih teramat cemburu pada setumpuk buku dari pada aku harus memiliki tiga madu”

Yaaaps, selalu ada cita sederhana dari sedikit pecinta ilmu seperti saya. Untuk menghadirkan salah satu lembaga keuangan dalam lingkup kecil disekolah sebagai penyedia buku-buku bagi guru-guru sebagai khazanah penambah ilmu. Begitulah hajat ringan sesederhananya kemampuan menjaga ritme dalam keseharian kita tak lepas dari membaca buku dan diskusi literasi..

Sebagai puisi lama dari moyang kita
Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ketepian
Berakit-rakit membuku
Bersenang-senang dalam tulisan

Kita meyakini, “Setiap satu buku diterbitkan, satu kuntum harapan mekar. Bahwa peradaban manusia akan terus bertumbuh.” (UAM)

Selamat hari buku sedunia 23 April 2022

===============

HEFRA LAHALDI (7) : “Selamat Hari Ayah, 12 November 2021”

“Jika engkau seorang ayah, belum tentu engkau menjadi guru. Namun, jika engkau seorang guru maka engkau adalah ayah sesungguh” (Pepatah Jepang)

Duhai.. Alangkah beratnya untuk mengambil kesemua hak atas doa dan pinta dari anak-anak kita sebagaimana yang diungkap oleh imam Al-Ghazali.“sungguh, yang berhak engkau doakan pertama kali adalah guru mu.” Ujar sang imam. “orang tuamu hanya melahirkanmu. Sedangkan gurumu adalah orang mengenalkan dirimu pada tuhanmu.”

Suatu ketika seorang ahli ilmu dilayangkan sebuah tanya kepadanya. “Penghormatan dirimu kepada gurumu sungguh melebihi penghormatan dirimu terhadap ayah kandungmu.” Maka sang ahli ilmu itu menjawab.
“Karena ayahku adalah faktor sebab bagi kebahagiaan kehidupanku didunia yang fana, sementara keberadaan guruku adalah orang yang mendidik dan membimbingku yang dengannya menjadi sebab kebahagian bagi kehidupan yang abadi di surga.”

Sungguh menjadi ayah adalah pemegang kemudi atas arah tuju dalam perjalanan hidup keluarga. Maka, persaksian beban tugas ini oleh anak, istri dan keluarga kita adalah hal yang paling bermakna bagi kita. Karena, sesungguhnya terhadap wanita yang dinikahi dan anak-anak yang dilahirkan dari rahim istri. Mereka kesemua bertitah memberi perintah kepada sang pengemudi. “bawalah kami semua kesurga”

Sedang mereka diluar sana hanya sebatas penikmat dan pengagum sekilas. Ini yang sering dibahas guru-guru kita. Kenapa terkadang bisa saja seorang motivator mampu mempengaruhi audiensnya, relasi mereka. Namun, terkadang tidak menjadi baik dimata keluarga mereka. Anak dan istri mereka. Atau para ayah yang sukses dalam karir kerjanya. Menjadi teladan bagi mitra dan partner kerja dengan segala pujian yang mendera. Juga bagaimana sang suami yang menjadi idola diluar sana atas pengaguman orang lain terhadap segala pesona, yang sejatinya istri yang paling berhak atas pesona itu dan anak-anak nyalah yang berhak atas keteladanan dan keidolaan.

Mestilah bagi sang pengemudi untuk menyandarkan setiap kuasa yang dilakukan dalam penyadaran arah tujuan bagi keluarga adalah kepada Allah semata. Karena sejatinya adalah apa yang dilakukan kesemuanya semata ikhtiar yang dimaksimalkan. Hidayah bukan hak milik sang pengemudi (ayah). Adalah kisah Nuh dan Luth cukup menjadi penyadar bagi kita bahwa sang kemudi tak punya kuasa penuh atas hasil usahanya. Bahterah Nuh yang mengangkut para mereka yang beriman kepada Allah tak dibersamai oleh keluarganya, anak dan istrinya. Mereka semua adalah nabi. Sekali lagi, peran kebaikan memang harus terus dimaksimalkan. Dan peran itu menjadikan kita sebagai syarat untuk tidak berlindung terhadap dua nama nabi yang agung Nuh dan Luth..Aaahhh bahkan mereka yang dari golongan nabi dan rasul saja tak mampu membawa anak dan istrinya menjadi bagian dari ketakwaan. Bahkan keluarga mereka tertap saja durhaka.

Tetaplah..! luangkan waktu yang berharga terhadap keluarga kita. Luangkanlah bimbingan dan pengajaran pada mereka anak-anak kita yang rasulullah sifatkan sebagai wewangi surga. Inilah wewangian surga yang dengannya seorang Amirul Mukminin Umar bin Khatab tak segan memecat gubernurnya. Perihal keras hati dan kaku diri dalam membersamai anak-anaknya. “Apakah engkau melakukannya wahai Umar, sedangkan jabatanmu adalah khalifah.?” Tanya sang gubernur tatkala melihat Umar mencium anaknya.
“Jika kau tak sayang pada mereka.” Jawab Umar. “Bagaimana engkau menyayangi rakyatmu.”

Muawiyyah pernah berbaring dilantai istana sedang diatas perutnya dua orang anak bermain menindih. Ketika hal itu ditanyakan kepadanya letak jawabnya disandarkan kepada sabda baginda “Siapa yang memiliki anak kecil hendaklah ia bercanda dan bermain bagi mereka”

Dari hadits diatas. Menurut Ibnu Hajjar al-Asqalani mengajak anak-anak bercanda bentuknya bukan lagi sebuah keringanan yang sedapatnya saja dilakukan. Tapi ia lebih menjadi sunnah yang mesti dilakukan. Tidaklah mesti kesebuah taman gratisan atau kewahana yang mewah bermodal wahh. Cukup dirumah saja dengan memanfaatkan segala fasilitas yang ada. Atau bahkan setiap anggota tubuh kita menjadi wahana bermain baginya. Sesabda baginda “sungguh penunggangnya adalah penghulu pemuda didunia dan disurga.” Ketika Hasan dan Husein menaik punggung rasulullah. Mari hadirkan sunnah dirumah bahagia kita bersama mereka wewangi surga.

Tentu saja dalam pemenuhan hak dan kewajiban bagi mereka keluarga ada keseimbangan. Akan ada sebuah pergulatan dalam diri kita. Tentang cinta dan marah, hawa nafsu dan cara membimbing mereka. Saya selalu katakan. Ketika kita menjadi marah dan kecewa atas keinginan yang tak terpenuhi oleh orang tua kita. Maka akumulasikan kesemua rasa kecewa itu dan kali sepuluh. Itulah rasa kecewa yang dirasakan seorang ayah ketika tak mampu memberikan hal yang terbaik bagi anaknya.

Ayah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Tugas sang ayah juga memilihkan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Kata terbaik sengaja dicetak tebal miring. Karena kita meyakini belum adanya kesamaan persepsi antara orang tua dan sekolah tentang makna terbaik ini. Hal ini tidak menghalagi nantinya peran kita sebagai guru bagi keluarga yang mesti ditiru oleh anak-anak kita. Generasi salaf berlaku sepeti itu. Imam Ahmad menitipkan anaknya belajar kepada Yahya bin Ma’in untuk belajar hadits. Bukankan imam Ahmad adalah seorang muhadits besar pada zamannya. Dalam satu riwayat Abu Hanifah pernah menghadiahkan kepada seorang guru sebesar 70 dinar yang telah mengajarkan anaknya hafal surah al-Fatihah.

Sesekali. Ajaklah anak-anakmu dalam setiap kerjamu. Agar ia mampu mengambil keteladanan darimu, dari setiap tindakan mu.
Abdul Muthalib mempunyai sebuah tempat duduk yang tidak boleh orang lain berada disitu selain dirinya. Singgasana itu adalah tempat baginya untuk memutuskan setiap perkara yang penting lagi besar

Pewarisan nilai-nilai adab kebenaran dan kebajikan kepada mereka keturunan kita adalah yang paling utama. Mewariskan seharta benda dan tumpukkan kekayaan yang melimpah sama sekali hal yang tidak cukup. Dirham dan dinarmu tak akan mampu menjaga mereka dalam kehidupan didunia ini apatah lagi untuk akhiratnya. Sungguh nilai ketakwaan kita menjadi panutan yang patut menghantar mereka mewariskan nilai-nilai kebajikan yang kan terus membawa keberkahan pada generasi-generasi selanjutnya.

Mari mengambil hikmah dari sang ahlinya. Kepada seorang lelaki baya yang bahkan bukan dari golongan nabi dan rasul. Inilah sepenuh hikmah dari seorang lelaki biasa yang dengannya al-Qur’an merekam kisahnya begitu bermakna.

Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Apa yang telah menjadikanmu mencapai kedudukan seperti ini?”

“aku tahan pandanganku,”Jawab Luqman. “ aku menjaga lisanku, aku perhatikan makananku, aku pelihara kemaluanku, aku berkata jujur, aku menunaikan janji, aku hormati tamu, aku perduli terhadap tetangga. Dan aku tinggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagiku.”

Sungguh terabadi kisah luqman dalam al-qur’an atas hikmah ilmu dan kebijaksanaan. Pada ayah yang kurasa tak memiliki ilmu nan layak bermutu. Kami dengar dan jaga pada setiap nasihatmu. “jangan tinggalkan shalat, jangan membawa sesuatu yang bukan milikmu kerumah, dan jangan pernah bertopang dagu.”

Sungguh ayah.. dirimu lah guru itu. Engkaulah kemudi arah tuju yang sedari awal kami semua titahkan kepadamu “Bawalah kami semua kesurga” pada bahtera yang telah lama engkau siapkan..

==============

HEFRA LAHALDI (6) : ”POTENSI KEPAHLAWANAN”

“Pendistribusian peran kecil kita terhadap penuntasan terhadap kondisi dan situasi yang membutuhkan adalah momen kecil sebagai peran kepahlawanan. Peran kecil atau besar, pahlawan tetaplah pahlawan” (Hefra Lahaldi)

Kembali bangsa ini mencukupi syarat untuk menjadi bangsa yang besar. Yaitu, mampu menghargai jasa para pahlawan yang telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara. Setidaknya tahun ini ada empat tokoh yang diangkat sebagai pahwalan nasional melalui keputusan presiden republik Indonesia.

Pendistribusian potensi dalam diri seseorang secara optimal menjadi keunggulan untuk menjadi pahlawan.

Setiap orang bisa terus berjuang. Tetapi, terkadang belum memenuhi syarat untuk menjadi pahlawan. Peran kepahlawanan adalah semua potensi yang telah matang ada pada diri seseorang bertemu dengan pematangan kondisi keadaan diluar yang membutuhkan penuntasan dari peran tersebut.

Penuntasan terhadap tuntutan kondisi diluar diri kita itulah membuat kita dinilai atau dicatat sebagai pahlawan. Disinilah keunggulan orang yang selalu terus berjuang, kemudian potensinya mampu menuntaskan pekerjaan-pekerjaanya pada kondisi yang rumit, susah dan penuh tekanan. Sendiri maupun secara kolektif.

Penuntasan pekerjaan itu menjadi momentum sebagai prasasti nilai kepahlawanan seseorang.

Kita meyakini bahwa, tidak ada orang mempunyai kompetensi yang kompleks. Mesti ada kompetensi yang menjadi pusat unggulnya. Yang terus digali dan diasah sehingga menjadi ledakan besar dalam situasi dan kondisi menjadi momentum kepahlawanannya.

Soekarno tidak diragukan lagi potensi dirinya sebagai orator besar. Namun, dalam hal penulisan tentu saja diakuinya bahwa kompetensi unggul itu adalah milik Mohammad Hatta. Dari kolektifitas keunggulan kedua pahlawan besar ini lah bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya. Agus Salim tentu lain lagi. Analogi dan diplomasi menjadi keunggulan yang tidak diragukan lagi sebagai potensi besar dalam dirinya.

Proses penggalian keunggulan kompetensi masing-masing peran tersebut tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ya ,, mereka orang-orang yang sangat gemar membaca. Justru, daya baca mereka menjadi model skala kecil untuk menghampiri potensi yang paling unggul dalam diri mereka.

Oleh karena itu. Peran kepahlawanan bangsa ini adalah kolektifitas dari pusat-pusat keunggulan masing-masing individu. Ulama, santri, pengajar, militer, bahkan insan perfilman dan sebagainya. Mereka menjadi ulung pada bidangnya masing-masing.

Keunggulan orator bung Karno menjadi ledakan peran kepahlawanannya. Pematangan dalam dirinya bertemu dengan kondisi dan situasi yang pada masa itu memang membutuhkan suatu semangat yang menggelora. Genrenya pas, orasinya pas.

Momen hari pahlawan adalah momentum bagi kita untuk terus menggali potensi dalam diri kita. Mengeksplorasi semua keunggulan. Ketika situasi dan kondisi membutuhkan kesemua ledakan potensi unggul itu. Maka, penuntasannya menjadi momen kita sebagai pahlawan berikutnya.

Selamat hari pahlawan 10 November 2021.

==================

HEFRA LAHALDI (5) : TRANSFORMASI

Memperingati momen maulid nabi adalah sebuah peristiwa yang akan tetap relevan sampai kapanpun. Dari itu, kita tidak ingin terjabak hanya pada selebresi bersifat Ceremonial semata.

Kelahiran Baginda nabi adalah setulus doa yang tak tanggung-tanggung terpendam selama empat millenium lamanya. Tentu saja makna dari doa tersebut adalah sebuah harapan transformasi bagi sebuah peradaban.

“Duhai Rabb kami, dan bangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas mereka ayat-ayatMu, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaqksana.” (QS Al Baqarah [2]: 129)

Begitu diksi dari munajat Nabi Ibrahim Alaihi Sallam empat ribu tahun di depan Ka’bah sampai pada periode Mekkah dijejali ratusan berhala sebuah transformasi massal oleh Amr bin Luhay..

Memaknai kelahiran nabi artinya kita memaknai sebuah perubahan besar bagi kehidupan. Karena memang kelahiran nabi untuk menjawab sebuah krisis panjang bagi sebuah peradaban. Nabi lahir ditengah-tengah krisis tersebut. Maka hal ini harus diubah. Oleh itu, sejak proses tahanus di gua Hira sampai datangnya Wahyu pertama dan hijrah Rasulullah ke habsyah dan Madinah adalah sebuah pesan perubahan atas zaman..

Perubahan yang paling fundamental adalah perubahan diri pribadi. Sebagai mana ayat diatas prosesnya adalah membacakan, mengajarkan dan mensucikan. Nabi membimbing manusia pada keshalihan pribadi. Yang kemudia keshalihan masing-masing pribadi itu bertransformasi menjadi keshalihan bersama. Kolektifitas keshalihan inilah yang akhirnya membentuk entitas baru sebuah strata sosial masyarakat Islam pada periode pertama dakwah Mekkah..

Perubahan kedua adalah strata sosial. Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh musyrik Quraisy terhadap Muhammad Shalallahu alaihi Wa sallam alaik.. Mendobrak feodalisme bagi bangsawan Mekkah pada masa itu sangat tidak bisa diterima.

Tetapi , justru perubahan sosial masyarakat pada masa itu berlangsung begitu cepat dengan diterimanya Islam dari berbagai kalangan. Sampai pada berlangsung campaign tauhid yang diinisiasi oleh Umar bin Khattab setelah keislamannya. Mekkah bergolak..

Ada dialog yang terasa baru diantara kesenjangan sosial yang mengurat darah sebelumnya. Dialog yang dilandasi rasa cinta dan kebebasan berpikir sesuai tuntunan syariat yang menyebabkan seorang Umar bin Khattab setara dengan Bilal bin Rabah. Abu Bakar ash Shiddiq dengan Abdullah bin Mas’ud. Nilai manusia terletak pada keimanan dan ketakwaan keshalihan masing-masing pribadi. Ini juga yang membuat seorang Bilal yang budak mampu berada pada posisi seorang Gubernur dan Abdullah bin Ummu Maktum suatu ketika menjadi wali Madinah menggantikan ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa Sallam memimpin ghazwah.

Lagi-lagi kita mesti memahami. Kehadiran nabi sebagai pemimpin tak lepas dari determinasi. Itu tantangannya, itulah cara kerja nya. Determinasi ditengah krisis yang diawali dengan peristiwa Amul Huzni (Tahun Berduka Cita) atas kematian dua orang yang paling dicinta nabi dan sebagai penopang kekuatan dakwah.

Entitas sosial muslim di Mekkah mengalami ujian. Mulai dari Boikot massal hingga pembunuhan. Sebagai pemimpin ditengah krisis Rasulullah sangat mahfum akan hal ini. Maka, proses Hijrah adalah sebuah eksperimen perubahan selanjutnya.

Entitas sosial muslim ini harus ditopang dengan kekuatan baru. Ia mesti menjelma menjadi kekuatan entitas politik (negara) sebagai kekuatan.

Menuju transformasi ini dimulai dengan eksperimen hijrah Habasyah. proses Hijrah ini menjadi pukulan telak bagi entitas politik musyriq Quraisy. Ketika puncaknya ahli diplomasi mereka sekelas Amr ibn al-Ash runtuh reputasinya didepan kaum muslimin yang mereka anggap sebagai “Imigran gelap” ditanah Najasyi harus pulang dengan tangan hampa dari negeri raja Nasrani tak mampu membawa pulang kaum muslimin yang hijrah kesana. Mekkah terguncang. Ini langkah perubahan sekaligus kemenangan pertama bagi Rasulullah dan kaum muslimin dalam politik. Langkah cerdas dan cermat.

Hijrah Madinah adalah pilihan yang telah ditetapkan dan dibimbing Wahyu. Ia tak sekedar eksperimen belaka namun mempunyai visi nyata. Yatsrib yang tidak mempunyai kekuasaan sentral dihadirkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai pemimpin baru disana. Tentu saja proses tersebut diawali dengan peristiwa Baiat Aqabah sebagai pondasi awal transformasi menuju entitas baru di Madinah..

Ini transformasi yang sangat krusial bagi kaum muslimin. Menyatukan kaum Muhajir dan Ansor (Muakhkhah-mempersaudarakan kaum muslimin) hingga traktat perjanjian damai dengan kaum Yahudi atas konsep kepemimpinan Madinah kedepan. Bukanlah hal mudah menghadapi Yahudi Madinah yang dominan secara ekonomi dengan konsep ribawinya dan tata administrasi yang mampu menggerakkan pasukan perang. Hal ini tak bisa dibiarkan disisi lain melakukan konfrontasi langsung tidaklah bijak. Piagam Madinah adalah rumusan langkah yang tepat.

Transformasi entitas selama sepuluh tahun menjadikan dakwah ini kepuncak kejayaannya. Dari entitas sosial yang terusir dari Mekkah, kaum muslimin mampu mengubah nya menjadi kekuatan yang menaklukan Jazirah Arab pada mulanya dengan peristiwa Fathuh Mekkah. Inilah awal fase mengguncang dan mengubah kekuatan dijazirah Arab. Sebagai mana sabda sang nabi di perang Khandaq “Mulai sekarang, kitalah yang akan menyerang mereka. Dan mereka tidak akan mampu menyerang lagi”.

Kesemua perubahan yang dilakukan oleh nabi tak lepas dari determinasi dan tantangan. Tetapi, memang sedari awal perintah perubahan hadir dengan kata perintah “Baca” dan yang kedua adalah membersihkan diri dan hati. Yang mengajarkan kepada kita untuk selanjutnya lebih peka dan cermat membaca zaman sepeninggal Baginda nabi.

Dari doa empat millenium sebelumnya dijawab oleh Allah SWT.
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul diantara mereka, yang Membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, Menyucikan mereka dan Mengajarkan mereka kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesetan yang nyata.” (QS. Al-Jumuah : 2)

Itulah proses transformasi yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Keshalihan pribadi menuju kepada kolektifitas keshalihan sosial dan kemenangan entitas politik bagi umat Islam. Dari situ, kita bisa mengubah ditengah krisis bangsa maupun dunia sekarang ini. Memang tidak mudah. Melampaui determinasi dengan memaknai peristiwa kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam begitulah cara kerjanya..

“Allahumma shali ala Muhammad wa ala alaihi wa sallam”

Bersalawat lah atas nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi Wa Sallam.

=================

HEFRA LAHALDI (4) : Menjaga ingatan dan pengetahuan utuh Ideologi Bangsa

“Ingatan kelam kita diakhir September dan kemenangan di awal Oktober 65′ menjadi pengetahuan utuh menjaga dan merawat ideologi berbangsa” (Hefra Lahaldi)

Pancasila hasil konsensus dasar bernegara telah menjadi pemenang dengan sebagai jalan tengah yang dipilih oleh para pendiri bangsa.

Jalan tengah (Kalimatu al-Sawa’) ini dipilih sebagai kemaslahatan atas pertarungan ideologi diawal-awal kemerdekaan. Ada proses negosiasi, bergaining (posisi tawar) yang panjang sehingga menjadi kesepakatan bersama.

Pancasila, kemudian kembali menjadi pemenang kurang lebih 20 tahun setelahnya. Ketika diuji atas terjadinya pengkhianatan ideologi musuh bangsa di akhir bulan September 65′. Momentum Coup yang direncanakan oleh para pelaku dan petualang malam jahanam tersebut menjadi momentum kemenangan ideologi negara pada sehari berikutnya. Dan akhirnya mengubur dalam-dalam ideologi komunisme yang tak setia kepada ideologi negara.

Prof. Salim Said mengatakan bahwa kita memiliki ingatan yang panjang dan terang atas tindakan sepihak komunis bagi bangsa. Tentu saja, 65′ adalah peristiwa yang paling kejam dan kelam.

Lebih dari setengah abad tepatnya 56 tahun. Ingatan kolektif bangsa kita terjaga. Setidaknya berbagai lembaga survey merilis hasil bahwa 46% masyarakat percaya bahwa ancaman PKI itu nyata pada masa sekarang ini.

Sebagian besar kita menjaga dan merawat ingatan itu dengan kembali memutar film pengkhianatan G-30S/PKI. Kita tidak ingin memasuki perdebatan antara pendukung dan pihak penentang pemutaran film tersebut.

Beranjak dari situ, kita hendaknya lebih memilih langkah kognitif dalam merawat ingatan kolektif tersebut. Karena memang diperlukan kedewasaan dan kebijakan berpikir untuk memilah dan memilih tentang isu komunisme sebagai ranah “Pengetahuan” atau ranah “Politik” oleh karena itu, ingatan dan pengetahuan kita secara utuh lah yang harus menjadi kunci awal untuk merawat dan menjaga Idelogi bangsa ini.

Bisa jadi masyarakat kita memahami komunisme secara bulat tersebab stigma-stigma kelam dan buruk dari subjek yang justru menginginkan kekuasaan atas nama isu komunisme. Kita percaya stigma itu, tentunya dengan ingatan dan pengetahuan yang utuh.. itu kuncinya..!

Ingatan kolektifi kita yang menjadi awal referensi pengetahuan yang kita miliki dapat membantu membaca situasi masa lalu dan membaca situasi yang kini sedang terjadi bahkan selanjutnya dapat menentukan arah situasi kita kedepan.

Menarik yang ditulis oleh salah satu tokoh politik. Bahwa, sejarah buruk komunisme dalam tataran global bukan saja hanya gagal dalam penerapan sistem kerja, juga atas jejak kelam dalam pembunuhan massal berpuluh juta manusia dibelahan bumi atas nama ideologi.

Dari kegagalan sistem dan jejak langkah yang mengerikan tersebut. Kesimpulan bahwa Komunisme sebagai ideologi mengalami masa kebangkrutan.

Kegagalan sistem komunisme China justru menghasilkan sebuah kelaparan yang berujung pada pembantaian. Setelah Mao wafat, para suksesornya melakukan terobosan haluan lebih memilih kapitalis sebagai langkah ideologi pada rentang periode 1976. Pun, Uni Soviet saat kalah dan kemudian runtuh selanjutnya bergeser kepada kapitalis global. Rusia menjadi negara yang doyan menggebuk partai Komunis dinegaranya. Bahkan di Ceko museum komunisme berdiri sebagai kenangan atas ide-ide komunisme yang telah gagal..

Berangkat dari itu proses shifting ideologi itu semua, seorang Francis Fukuyama bahkan dalam tesisnye menyimpulkan bahwa Kapitalis adalah ideologi sebagai pemenang dan percaya sebagai ideologi pilihan. Namun, kemudian pendapat itu kembali dia ubah dalam bukunya The Great Disruption sebagai sampling struktur sosial masyarakat Amerika kiblatnya kapitalis global..

Sederhananya begini, sebagai penyuka dangdut. Ada ideologi besar yang mentas diatas panggung. Ideologi itu menyeret kita semua untuk berjoget.Ironisnya, kita menjadi pihak-pihak yang tersikut sampai kepinggir panggung bahkan jatuh dan runtuh. Uniknya, analisis Disruption bagai panggung yang akhirnya roboh menahan aksi kesemua itu. Sebagai muslim saya mesti percaya kepada risalah yang dikatakan bahwa semua isme didunia ini tidak akan pernah bertahan lebih dari 70 atau 90 tahun..

65′ kita mesti menjaga ingatan kolektif kita bahwa peristiwa itu adalah pertarungan “Proxi War” besar dua kutub kekuatan ideologi dunia. PKI yang bermain mata dengan China sebagai kutub sebelah justru harus dijegal oleh Rusia pihak komunisme berikutnya. Dan akhirnya memang arah Bangsa kita lebih berpihak kepada style Amerika..

Mestinya, ingatan dan pengetahuan kita yang utuh atas peristiwa 65′ menjadi musabab naiknya “kelas kasta” negara kita dalam percaturan geopolitik global. Kita tidak boleh melulu terjebak permainan yang mestinya sudah dibaca dengan ingatan dan pengetahuan utuh kita.

Kita mesti beranjak menjadi pemain ketiga dalam Medan tempur supremasi kekuatan ideologi besar dunia. Bukan menjadi medan tempat mereka berseteru. Runtuh kita.. !!

Saatnya Indonesia tampil menjalankan amanat konstitusi negara menjaga ketertiban dunia dengan bahasa operasionalnya politik bebas-aktif. Dan ini mesti menjadi imajinasi kita sebagai bangsa dengan menggerakkan kesemua instrumen negara.

Ketika kita percaya pada isme yang tak laku diusia 70-90 tahun. Maka, keyakinan kita pada agama dan pembinaan keluarga atas nilai-nilai agama tersebut. Menjadi landasan utama bangsa Indonesia. Seperti diatas diejelaskan bahwa pilihan kita (Kalimatu al-Sawa’) selalu diambil sebagai pilihan bangsa yang “Watak Tengah” itu ujar Anis adalah antitesa dari kedua kutub ekstrim baik kiri maupun kanan. Terangkum dalam falsafah Pancasila sebagai platform kehidupan berbangsa..

Terus jaga dan rawat ingatan serta pengetahuan kita secara utuh. Disitulah kita mampu membawa Bangsa ini atas imajinasinya dalam kancah dunia..

=============================

HEFRA LAHALDI (3) : KOPI CITA RASA OPOSISI

“Tersebab seduh dan sedih itu melibatkan rasa, maka di Janji Mantan ada idiom Bertemanlah sebelum pertemanan itu dilarang” (Penikmat Kopi)

Kopi dan oposisi begitu lekat. Secangkir kopi di Janji Mantan diseduh dan sajikan prosesnya dihasilkan dari kejelian dan uletnya memilih biji kopi dan diolah oleh tangan barista berpengalaman. Jadilah ia nikmat peneman malam-malam dalam obrolan panjang para oposan..

Mestinya begitu, apa yang disajikan oposan terhadap pusat kekuasaan disikapi bukan sekedar nyinyiran atau umpatan sakit hati akut. Karena, sering terjadi penilaian bahwa mantan lawan adalah oposisi yang sakit hati. Pun, pada yang netral namun mengkritisi mesti disikapi adil sebagai oposan. Jeli melihat kelemahan bukan mencari kesalahan. Walau terkadang kritik sebagai penggenap kekurangan sering kali dianggap mencari-cari masalah atau kesalahan.

Secangkir kopi di Janji mantan. Aroma kopi yang dirasa mempesona sebelum dicercap dilidah awalnya diracik dengan jeli. Oleh itu, tabiat kekuasaan harus terbiasa menikmati aroma yang dihembuskan oleh para oposan kemudian mencercapnya di lidah yang dulu pernah berjanji dan masuk keperut sehingga peka merasa pada rakyat yang perutnya belum terisi.. Oposan mungkin maunya begitu, sambil ngopi sambil pikir perut rakyat..

Secangkir kopi dijanji mantan. Mesti hadir satu idiom “bertemanlah sebelum pertemanan itu dilarang, karena dimeja kopi janji mantan semua adalah teman” teman diskusi, teman bertukar pikiran. Sudahilah di meja kopi janji mantan sesoal ghibah dan kudeta. Mending curhat walau ujungnya mendapat cacian seperti teman baik saya sedulu kala..

Secangkir kopi di Janji Mantan. Warkop tetaplah warkop. Idiom abadinya hingga kini dari zaman orba adalah “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” warkop tempat dan cara masyarakat bergumul mengolah rasa. Tentang tawa, pedih, luka dan lapar dikesehariannya. Semakin banyak tempat mengolah rasa, semakin peka pusat kuasa. Mestinya seperti itu.

Secangkir kopi di Janji Mantan. Saya teringat Mardigu Sontoloyo.. Coba bayangkan jika pusat kuasa membuat warung kopi di bawah BUMN atau BUMD. Memfasilitasi para oposisi dan jelata berdiskusi ditambah keuntungan usaha untuk makan para jelata tadi. Oposisi cukup dapat kopi gratisan..

Secangkir kopi di Janji Mantan. Ujar Rokcy Gerung, Cafe Society (Warkop) adalah salah satu tempat berkumpulnya elite politik dan artis seni di Eropa pada abad ke 18 untuk berdebat dan berdiskusi.

Didalam tradisi demokarasi ujarnya lagi, budaya ngopi tidak bisa dilepaskan. Dalam budaya ngopi ada suasana yang dicairkan dan bergaining oposisi dinaikkan. Karena mereka (oposisi) tidak bisa berdebat didalam parlemen, maka Cafe Society di Perancis menjadi tempat membagi strategi politik.

Parlemen kita bagusnya juga begitu, berdiskusi di Cafe. Takutnya saya, pemahaman cafe nya berbeda dari yang dimaksudkan.. Mending kita kembali ke Warung Kopi (Cafe Society)..

Secangkir kopi di Janji Mantan. Tak sekedar politisi, pecinta seni pun sangat erat dengan kopi. Secangkir kopi bisa berubah menjadi bait-bait panjang puisi atau dongeng istana raja. “Secangkir kopi dimalam panjang, demi merenungi sebuah perumpamaan rusuk yang berbengkok-bengkok dan gelas-gelas kaca yang berdebu” ditutup dengan tanya “ada yang mau menemani?.” Begitulah, entah sekedar memanggang waktu malam yang panjang sembari menunggu jelang pagi harapan..

Kopi sudah beralih wujud sebagai gaya hidup zaman kekinian. Kita mestinya mencermati peluang yang jelas sudah diambil oleh pabrik-pabrik kapitalis. Ironi yang begitu menganga ketika produk terbaik dari tanah leluhur kita dari Sabang sampai Merauke dipasarkan di negeri-negeri kulit putih. Yang notabene tak menanam kopi. Secangkir kopi di Starbucks. Ironi sangat memang.. Tak menyalahkan para politisi dan oposisi. Mestinya memang harus ada secangkir kopi di Janji Mantan.

Menghasilkan cita rasa kopi serupa merangkai cita-cita kedepan. Kita dituntut tidak sembarang memetik, memanen sampai mengolah siap saji. Mestinya gerak cita dipikir begitu masak, semasak menjaga kualitas biji kopi yang akan diolah. Begitu dicercap nantinya begitu nikmat dilidah. Apa cita di Janji Mantan, pusat kuasa kah..?!

Secangkir kopi di Janji Mantan. Aaaaaah sudahilah dimeja kopi tentang Ghibah dan Kudeta.. !!

Secangkir kopi di Janji Mantan. Seperti malam-malam sebelumnya ditemani secangkir kopi dan buku “Jalan tengah Demokrasi” karya Tohir Bawazir. Baru sampai pada kata pengantar yang berbunyi “Di dunia modern, kamu boleh mencaci maki tuhan, mencela nabi, tapi sangat dilarang mencemooh demokrasi” saya menterjemahkannya “jangan pernah mencemooh kekuasaan”

Secangkir kopi habis, buku tak jadi dibaca..

Secangkir kopi Di Janji Mantan..
Malam Ahad 4 September 2021

HEFRA LAHALDI (2) : (NA) RASI, ORANG MERDEKA(

“Kemerdekaan sejatinya menjadi narasi atas tuntasnya semua permasalahan bangsa” (Orang Merdeka)

Dalam alam demokrasi, berpolitik praktis adalah tata cara konspiratif yang legal secara konstitusi bagi kita untuk sebuah perbaikan bangsa dan negara.

Tentu saja langkah berpolitik bagi kaum muslimin adalah sebuah langkah membangun proyek peradaban kebangkitan Islam itu sendiri. Sebuah kehidupan yang Islami, dimana semua unsur-unsur kebaikan tumbuh subur dan mekar di taman Indonesia ini..

Membangun proyek peradaban tersebut tentu saja tidak lah mudah. Dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu memberikan “kemanfaatan” bagi masyarakat peradaban yang akan dibangun.

Tersebab, memang logika sederhana masyarakat adalah manfaat. Apa yang bisa diberikan oleh pemimpin kepada dirinya, kepada masyarakatnya. Untuk kehidupan kelayakan..

Oleh karena itu, menghadirkan tokoh pemimpin sangatlah kompleks. Semestinya ia didasarkan pada pengetahuannya, akhlaknya dan kemampuannya (ahli). “Jika suatu urusan.” Ungkap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. “Diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran”. Kenapa ahli diksi yang digunakan nabi bukan shalih?! Ini persoalan lain lagi. Idealnya memang keshalihan itu menjadi penopang utama dari keahlian dalam suatu urusan.. shalih namun tidak ahli agak repot juga kita. Itu sebabnya semisal sahabat Abu Dzar al-Ghifari tidak pernah menjadi seorang pemimpin ditengah-tengah umat. Kepiawaiannya (keahlian) dalam berkomunikasi dengan masyarakat tidak membuat nyaman masyarakat itu sendiri..

Mencari dan menggali kepemimpinan, seharusnya berangkat dari kesadaran masyarakat baik pengetahuan dan nilai spiritual jiwanya. Sehingga logika kemanfaatan yang disebutkan diawal tadi menjadi kemanfaatan yang merata bagi kesemua lapisan masyarakat.

Kita tidak ingin menggali sosok pemimpin atas mitos, legenda atau kisah yang membuaikan. Yang bisa jadi justru menjadi layunya proses demokrasi.

Menggadang-gadang salah satu tokoh sebagai ratu adil atau pangeran kesuhunan yang diharapkan mampu membawa keadilan dan kemakmuran bagi negeri sulit untuk dicerna sebagai narasi kemajuan bagi masyarakat yang berpengetahuan..

Tetapi, suka tidak suka negeri kita sudah kadung menerima cerita atas ramalan-ramalan tentang pasang surutnya Nusantara dari masa ke masa hingga nanti arah masa depanpun sudah tertera..

Ada yang menarik ketika periode bangsa ini menuju ke arah kemerdekaan sebagai bangsa. Ada narasi yang menarik dari sang proklamator kemerdekaan Indonesia.

“Bersama kelahiran ku.” Ujarnya saat itu. “menyingsinglah fajar dari hari baru. Menyingsing pula fajar abad baru. Karena aku dilahirkan tahun 1901.”

Lebih lanjut dalam otobiografinya, Bung Karno melukiskan secara plastis, “hari lahirku ditandai angka serba enam. Tanggal enam dan bulan enam. Telah menjadi nasibku dilahirkan dalam naungan Bintang Gemini. Lambang kekembaran. Dan itulah aku paduan antara dua sifat berlawanan.”

Maka, kita mengenal Bung Karno sebagai putra sang fajar..

Kita tak hendak menilai bapak proklamasi berkiblat pada bintang (Rasi) tentang kepemimpinannya. Tetapi, narasi yang dibangunnya atas bangsa ini sebagai bangsa yang akan bangkit diabad mendatang. Sebagaimana metafora yang sudah disampaikan hari baru dan abad baru atas sebuah kelahiran.

Kemanfaatan yang ingin dirasakan oleh masyarakat Indonesia masa itu adalah tentang sebuah kemerdekaan. Tapi, sekali lagi kita enggan berkiblat pada mitos dan tanda alam sesoal terwujudnya kemerdekaan.

Tentu saja narator pada masa itu tidak hanya Bung Karno. Banyak narator lainnya yang bahkan mungkin hingga hari ini tidak tercatat dalam sejarah bangsa. Namun, persamaan atas rasa terjajah yang dinarasikan oleh Bung Karno selama 350 tahun menjadi semangat yang menyala untuk bangkit merdeka.

Karena kebutuhan masa itu adalah tentang kemerdekaan. Masyarakat tak terlalu bergegas untuk berpikir dan mengkaji sekaligus menguji sesoal narasi yang dibawakan. Tentu saja, semangat kolektifitas dari kesemua pemimpin bangsa ini sudah dimulai jauh sebelumnya. Terlepas kesemua arus kolektifitas tersebut bermuara ke pada Bung Karno..

Sekali lagi. Pada kesekian puluh tujuh enam kemerdekaan bangsa ini. Kita tak ingin membangun proyek peradaban dan kepemimpinan kedepan terjebak pada mitos dan rasi ratu Adil sebagainya.

Isyarat mitos, bencana dan objek benda-benda langit sekalipun tidak akan bisa kita beri toleransi atas peristiwa hari esok dan masa datang. Kemerdekaan, menjadi semangat memurnikan pengetahuan dan menjaga akidah masyarakat kita.

Karena, isyarat mitos, bencana, atau peristiwa yang dianggap ganjil serasa rentan menghasilkan ketidak pastian bahkan menjadi dusta. Bukan menjadi kebenaran absolut, yang bisa saja menjadi sebuah relatif baru yang sangat berbeda dengan apa yang kita duga-duga..

Jika pun itu sempat bersesuai dengan apa yang sudah terduga sebelumnya sesoal keyakinan kita terhadap mitos dan gejala lainnya. Justru melahirkan “besar kepala” dan munculnya manipulasi baru terhadap prediksi-prediksi yang sesungguhnya bisa saja salah. Dan hal itu sangat berpengaruh terhadap layu nya keyakinan pikiran maupun jiwa kita.

Semisal, ketika Petruk menjadi ratu, maka yang kita tunggu adalah Semar yang menggulingkan kuasanya…

Atau peristiwa baru-baru ini jatuhnya bendera merah putih disuatu daerah sebagai pertanda bagaimana Indonesia kedepan..?! Keyakinan dan jiwa kita yang mesti memberi jawaban..

Kita teringat dengan puisi salah satu tokoh politik “Sesungguhnya musuh kita adalah Layu”
Untuk itu, kita menjaga layunya pikiran dan jiwa karena dari sanalah narasi-narasi itu dilahirkan.

Dalam menjalani hari-hari kedepan atas kemerdekaan yang telah tercapai. Sejenak kita kembali melirihkan salah satu ungkapan dari Putra sang Fajar.

“Kekuatan doa itu bukan terletak dari seberapa jauh kamu menghapal ayat-ayat Tuhan, seberapa banyak kamu mengucapkan doa dengan hitung-hitungan matematis, kekuatan doa itu justru terletak dari keyakinanmu terhadap doa itu yang kemudian menggerakkan hati.

Ketika hati kamu bergerak, alam semesta akan menggerakkan dirinya untuk mewujudkan keinginanmu, atas dasar itulah saya berani memerdekakan bangsa saya”

“Saya lahir pada tanggal 18 Juni 1984″ telah menjadi takdir saya dinaungi bintang Gemini. Lambang kekembaran. Dan itulah dua sifat berlawanan. Saya bisa baik dan bisa juga lebih baik” (Hefra Lahaldi)

===============


HEFRA LAHALDI (1) : LOMBA AGUSTUSAN

Baru-baru ini publik di buat bingung dengan pengunduran hari libur nasional 1 Muharram 1443 H. Khususnya kaum muslimin, hal ini seolah-olah menjadi bagian dari mufakat yang tidak sehat bagi selebrasi spiritual.

Saya pribadi sudah menakar. Yang diharapkan atas keputusan tersebut adalah umat Islam menuntut hal yang sama nantinya terhadap libur nasional 17 Agustus 2021. Disinilah jebakan Betmen nya. Seolah umat ini kembali dicoba dibenturkan dengan rasa nasionalisme. Selebrasi hari besar kaum muslimin sebagai manusia bertuhan dibenturkan dengan selebrasi rasa nasionalisme kita sebagai manusia berbangsa. Umat ini, umat terbaik dan pastinya pun cara terbaik pula menyikapi keputusan yang membingungkan publik itu..

Lagi-lagi, dibulan yang berbarengan antara selebrasi umat dan selebrasi nasional ini, berulang pemerintah melalui BPIP seolah kembali membuat ujian menarik bagi umat Islam.

Ditengah kondisi yang semakin sulit tersebab pandemi ini. BPIP seolah tidak memiliki kepekaan sosial sekaligus kepekaan pikiran. Dengan mengadakan perlombaan temanya “Hormat bendera menurut hukum Islam” dan “,Menyanyikan lagu Indonesia raya menurut hukum Islam”

Dengan khasanah fikih umat Islam yang begitu memudahkan kita dalam kehidupan beragama dan berbangsa selama ini, sesungguhnya apa yang ingin dicari oleh tim BPIP ini? Mencari tahu asal muasal kodok kah..?

Terkesan ingin menggali pendapat baru tentang hukum “hormat” dan “menyanyikan lagu Indonesia raya” jika ingin memastikan bahwa umat Islam ini sepakat terhadap penghormatan dan menyanyikan lagu tersebut. Umat ini yang turut memerdekakan bangsa, umat ini yang bersemangat dalam mengumandangkan Indonesia raya sebagai selebrasi nasional..

Lantas, hukum keharaman yang ingin dicari atau diungkit-ungkit kembali yang mungkin sebagian kecil sangat-sangat kecil Pendapat keharaman itu dari umat ini..

Sebagai Badan Pembina Dimasa pandemi ini. Saya menyarankan BPIP mengadakan lomba menyikapi sila ke-5 dari Pancasila. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Bukan kah sebagai manusia berketuhanan yang telah bermufakat dengan khitmad dalam persatuan Indonesia kita selayaknya mewujudkan keadilan sosial tersebut bagi segenap masyarakat.

Saat ini masyarakat kita mengalami sebuah tekanan hidup begitu sulit. Tekanan ekonomi tentu saja akan menjadi tekanan bagi jiwa dan pikiran yang sangat buruk. Akumulasi dari rasa cemas, takut, frustasi dari semua tekanan kesulitan hidup itu mestinya diantisipasi jangan sampai menjadi sebuah pembangkangan massal yang sangat mungkin juga menjadi ledakan sosial yang tidak terkendali nantinya. Suka atau tidak suka pemerintah mesti siap mengahadapi krisis politik terhadap kepemimpinan bangsa ini.

Keadilan sosial ini yang sangat relevan dimasa-masa sulit ini sebagai tuntutan masyarakat. Berdasarkan sila ke-5 tersebut kita mestinya mampu melakukan tindakan antisipasi terhadap krisis ini. Belum ada ahli yang mampu memprediksi kemana arah dan kapan krisis dunia ini akan berakhir.

Cukup sudah membuat kebijakan atau tuntutan bagi kepemimpinan negeri ini yang menyentuh sensitivitas sosial kita. Semisal, anggota parlemen disuatu daerah yang menyarankan sesoal busana bermerk Louis Vuitton. Mestinya BPIP melakukan pembinaan terhadap anggota parlemen terhadap sila ke-5 di momen selebrasi nasional ini.

Mudah-mudahan kesemua anak bangsa di momen selebrasi nasional sekaligus selebrasi hari besar kaum muslimin ini berlomba-lomba mencari Ilham atas krisis yang melanda dunia ini.

Ditengah pandemi, rasa optimis terhadap kemampuan kita keluar dari krisis inilah sebagai salah satu rasa nasionalisme terpatri dalam masing-masing diri kita..

Wallahu ‘alam bi shawwab

Oleh :
Hefra Lahaldi, S.Pd.I
(Ketua Panitia Lomba memakai busana Louis Vuitton)

donasi relawan lahatonline.com
Bagikan ke :
Share on Facebook Share on Google+ Tweet about this on Twitter Email this to someone Share on Whatsapp

BERITA TERKINI

LAHAT DALAM POTRET

LAHAT
MERAPI TIMUR - MERAPI BARAT - MERAPI SELATAN

LAHAT - Rabu, 27-Maret-2024 - 17:54

Guru Penggerak Terus Bertambah 

selengkapnya..

PULAU PINANG - GUMAY ULU - GUMAY TALANG - LAHAT SELATAN
KOTA AGUNG - MULAK ULU - MULAK SEBINGKAI - PAGAR GUNUNG - TANJUNG TEBAT
TANJUNG SAKTI PUMU - TANJUNG SAKTI PUMI

Nak Keruan Gale

Seni Budaya

Wisata

Almamater