Orang Tua di Halte Bis Kota

Cerpen Pinasti S Zuhri

Sabtu, 28-November-2020, 05:53


Langit menjatuhkan air siang itu. Udara yang sedari tadi membuat tubuh mengeluarkan keringat mendadak seperti tersiram es. Seorang nenek duduk di halte bis kota di Jalan Jenderal Sudirman mendekap dengkulnya dengan kedua tangan kurusnya.

Orang tua yang dibalut baju penuh tambalan itu hampir basah semua, rambutnya yang putih nampak meneteskan air ke muka keriputnya. Dan air hujanpun tak henti-henti memandikannya.
“Aneh! kenapa nenek itu tak beranjak sedikitpun untuk berteduh,” guman Nia yang sedari tadi memperhatikan orang tua tersebut.

Orang tua itu semakin menggigil, ia membenahi plastik kotor yang menempel di dengkulnya. Lalu meraup mukanya yang di banjiri air hujan. Hujan tak kunjung berhenti, setengah jam sudah Nia berdiri di emperan mini market. Matanya tak berganti arah pandang, tetap nenek itu menjadi perhatiannya.

Nia teringat neneknya di rumah. Neneknya yang selalu mendongeng untuknya. Anak-anaknya selalu mengunjunginya setiap bulan. Saat itulah Nia dapat melihat senyum manis neneknya walau tanpa gigi. Ketika cucunya datang dan berebut mencium tangan nenek. Walaupun sudah kuliah neneknya tetap saja menganggap Nia gadis kecil, gadis kecil yang selalu riang bermain. Hujan tetap turun di bawah payungnya, Nia terseyum sendiri.

Sebulan lalu neneknya Nia sakit, ia batuk batuk dan suhu badannya panas. Nia sangat khawatir dan tak memejamkan mata menjaga neneknya terbaring di rumah sakit. Sesekali neneknya terbangun, melihat Nia yang menahan kantuknya, tersenyum dan tidur lagi. Dan ketika neneknya sembuh Nia kegirangan, ia meloncat-loncat mendorong kereta neneknya menuju mobil yang akan mengantar mereka pulang.

Hujan bertambah deras, Jalan jendral sudirman mulai tergenang air, Nia masih berdiri di emperan mini market, memandangi orang tua yang duduk di halte bis kota. Sewaktu nenek Nia tinggal di desa nia selalu menyempatkan diri untuk mengunjunginya, setidaknya satu bulan sekali. Paman Nia yang menjaga neneknya di desa sering menelponnya mengabarkan kerinduan nenek kepadanya. Bukan main senangnya Nia, bergegas di kemasi pakaiannya dan berangkat ke desa.

Bagi Nia bertemu nenek adalah refresing yang luar biasa, terkadang dia tertawa lepas melihat ulah neneknya yang lucu. Neneknyapun sering menuturkan dongeng-dongeng yang tak pernah Nia dapat dari orang lain. Kadang Nia meneteskan air matanya jika neneknya mendogengkan hikayat sedih. Neneknya begitu pintar membawa perasaannya. Sampai-sampai Nia yang sudah semester empat itu tertidur di pelukan neneknya. Nia dapat melihat kesedihan neneknya jika dia akan pulang kembali ke kota. Wajah nenek muram seperti seorang anak kecil yang ditinggal ibunya pergi ke pasar. Tapi Nia selalu berjanji akan kembali lagi bulan depan, dan kalimat itulah yang paling sakti untuk dapat membuat neneknya tersenyum kembali. Tak lupa Nia mencium pipi kanan dan kiri neneknya sebelum beranjak dari desa.

Hujan rupanya tak main-main, semakin bertambah deras. Nenek itu tetap tak bergerak di bangku halte bis kota, Nia masih berdiri memegang payung merah, memperhatikan orang tua itu.

Setiap malam Nia selalu memeriksa kamar neneknya untuk menyelimutinya. Neneknya tak tahan dengan udara dingin, mukanya membiru bila tidur tak berselimut. Dan orang pertama yang akan dipanggi bila neneknya bangun pagi adalah Nia. Neneknya juga sering memberikan nasehat-nasehat, bila Nia sedang kesal dia selalu mendekati neneknya dan tentu Nia akan tertawa melihat senyum tanpa gigi yang hanya dimiliki neneknya. Nia tak ingin kehilangan neneknya, entah kepada siapa dia harus mencurahkan hatinya bila neneknya meninggal nanti.

Langit mulai berhenti menurunkan airnya, kali ini gantian mata Nia yang mencurahkan air ke pipinya. orang tua itu tak bergeming sedikitpun dari halte bis kota. Nia membayangkan bila neneknya sakit dan dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Matanya lekat memandang orang tua tersebut.
“Bagaimana jika orang tua itu adalah nenekku,” batin Nia.

Nia melepaskan payungnya dan berlari menuju orang tua itu. Suara jeritan Nia mengundang perhatian orang-orang yang berteduh di bawah mini market itu.
“Nek, nenek berteduh, nanti sakit,”kata nia. Orang tua itu hanya diam matanya terpejam.
“Nek, jangan tidur di sini,” kata Nia lagi sambil menjulurkan tangannya ke tubuh orang tua tadi.
“Nek bangun nek,” kali ini Nia mengeraskan suaranya dan menggoyangkan tangannya yang tlah memegang bahu orang tua itu.

Orang tua itu tetap tak bergerak. Tangis Nia kini tak tertahan. Dia segera memeluk tubuh tua itu. Orang-orang berdatangan mengerubunginya. Dan ketika Nia melepaskan peluknya. Nenek itu melunglai di bangku halte bis kota itu.
“Nek! Maafkan Nia, Nia terlambat datang.” Nia semakin keras menangis.

Palembang Desember 2006

donasi relawan lahatonline.com
Bagikan ke :
Share on Facebook Share on Google+ Tweet about this on Twitter Email this to someone Share on Whatsapp

BERITA TERKINI

LAHAT DALAM POTRET

LAHAT
MERAPI TIMUR - MERAPI BARAT - MERAPI SELATAN
PULAU PINANG - GUMAY ULU - GUMAY TALANG - LAHAT SELATAN
KOTA AGUNG - MULAK ULU - MULAK SEBINGKAI - PAGAR GUNUNG - TANJUNG TEBAT

LAHAT - Selasa, 16-April-2024 - 18:21

Polres Lahat Gelar Halal Bihalal

selengkapnya..

TANJUNG SAKTI PUMU - TANJUNG SAKTI PUMI

MULAK ULU - Minggu, 14-April-2024 - 09:00

PENOMENA MISTIS TEBAT BESAK LAWANG AGUNG

selengkapnya..

Nak Keruan Gale

Seni Budaya

Wisata

Almamater