HM GOERILLAH TAN : MENEPIS BUDAYA SETORAN

Minggu, 9-Desember-2018, 05:24


BUDAYA yang merupakan alat ukur bagi kemajuan suatu bangsa telah diisyaratkan oleh Rasullulah Muhammad, SAW dalam salah satu pesannya “ tuntutlah ilmu, sampai kenegeri China “. Berati, begitu telah terkenalnya negeri yang satu ini pada 14 abad yang lalu, sampai-sampai Baginda Rasul mengeluarkan pesan penting bagi ummatnya, agar selalu belajar dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, bahkan kalau perlu harus menyeberang lautan nun jauh disana. Yang bisa dibayangkan, negeri China dibelahan bumi paling Timur yang untuk mencapainya perlu transportasi yang kala itu hanya ada kapal laut, tentu tidak mudah. Namun pesan Rasul itu ternyata mampu dilaksanakan oleh para sahabat dan pengikutnya, melalui usaha berdagang sambil menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah yang penuh kedamaian.

Dengan usaha dagang kepelosok negeri itu, terjadi interaksi sosial yang berkelanjutan sehingga secara tidak disadari terjadi pertukaran budaya antar bangsa. Penyebaran agama Islam yang terkenal di Nusantara, adalah melalui saudagar-saudagar Arab dari Gujarat yang telah memeluk Islam. Berlayarlah mereka kepelosok negeri, antara lain mendaratlah kapal-kapal dagang dari Gujarat itu ke Swarna Dwipa. Seperti di Aceh, penyebaran agama dan budaya Islam terjadi dan berkembang pesat hingga terbentuknya kerajaan Islam yang peninggalan masa kejayaannya terbukti masih ada seperti Samudra Pasai, Sultan Iskandar Muda dll.

Dari kedua rumpun bangsa (Arab dan China) yang datang ke Nusantara pada dasarnya memberikan pengetahuan dan ajaran filosofis tentang achlaq dan tata cara dalam berdagang didasari kesucian dan kejujuran untuk memperoleh keuntungan yang wajar. Masing-masing bersumber dari ajaran agama yang mengakar dalam kehidupannya sehari-hari. Dan tidak ada sedikitpun ajaran agama yang suci itu membolehkan cara-cara menyimpang bahkan sistem jual beli secara Islam dan bayar zakat dilengkapi dengan ikrar ijab qobul yang jelas, berarti sama-sama ikhlas. Jelas dalam konteks ini diajarkan etika jual beli bersyariat hukum agama.

SETORAN ITU APAAN SICH ?
Yang tentu saja secara semantik didifinisikan orang sebagai penyampaian uang atau barang dari kaum rendahan kepada kaum yang lebih tinggi yang zaman dulu disebut upeti. Atau lebih kongkrit lagi (secara positif) dapat diartikan kini sebagai suatu kewajiban warga negara kepada pemerintah. Ambil contoh; setoran pajak misalnya, merupakan penyampaian kewajiban suatu badan (perusahaan misalnya) atau individu kepada pemerintah sehingga hasil pengumpulan setoran pajak ini menjadi salah satu unsur pendapatan asli daerah maupun pemerintah pusat yang kelak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk program pembangunan infra struktur dll. Terbukti dengan setoran pajak, cukai tembakau dll menjadi andalan pembangunan.

Dengan demikian maka istilah setoran disini, positip bentuknya dan sesuatu yang positip tentu saja perlu didukung dasar hukum dan aturan yang jelas sehingga perlu dituangkan dalam undang-undang yang dilengkapi juga dengan berbagai penjelasan maupun peraturan pemerintah sebagai juklak dan juknisnya.
Namun berbeda halnya dengan bentuk setoran yang dikategorikan pungutan liar (pungli) yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Namun hal ini terbukti banyak dipraktekkan oleh para oknum pejabat di instansi dan lembaga formal maupun di lembaga-lembaga non formal yang umumnya dalam bentuk aturan “khusus” yang tidak jelas. Hal ini, awalnya hanya semacam saling pengertian saja, antara seorang bawahan kepada atasan misalnya. Bahwa, untuk dapat menduduki jabatan tertentu harus mampu menyetorkan sejumlah uang atau barang jenis lain sebagai substitusinya. Misalnya uang dapat diganti dengan barang kasar (barang berharga beneran) atau dapat juga dengan barang halus (wanita beneran). Dan hal ini telah menjadi budaya buruk dilapisan-lapisan tertentu.

Bahkan ukuran keberhasilan seseorangpun tidak lagi didasarkan kepada prestasi, melainkan setorannya lah sebagai ukuran. Boleh jadi sesorang karyawan itu mampu menyelesaikan suatu kerja proyek dengan menghemat anggaran, justru dia belakangan sekali naik pangkat dan bukan tidak mungkin bisa-bisa karena hemat anggaran dan nihil setoran akan mendapat meja kosong alias non job. Dan dilembaga tertentu bahkan dipraktekkan ilmu “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah , ada pula yang menerapkan “gantung palu” untuk suatu pengesahan APBD misalnya, maka merebaklah praktek suap tanpa malu-malu lagi. Kalau sudah begini budaya malu hilang, dan yang dikejar semata-mata uang. Walau dibanyak tempat terpampang poster yang berisi slogan yang mengharamkan suap atau setoran tapi semua itu tetap berjalan lancar menjadi kebiasaan, untuk menjadi koruptor.

SETORAN ALA TANAH ABANG
Pola dagang barang-barang di pasar kulakan terbesar di Jakarta itu, menerapkan symbol-symbol yang tidak semua orang mengerti. Selintas terdengar lucu, ayo-ayo bapak ibu “atasan seratus, bawahan limapuluh” dan ternyata hal ini punya makna bahwa, blous atas seharga seratus ribu rupiah, tapi untuk rock bawah dihargai lima puluh ribu saja. Terutama ibu-ibu yang sering belanja di Tanah Abang, sangat mengerti bahwa, yang dimaksud oleh sipenjual pakaian jadi itu demikianlah adanya.

Penerapan setoran tentu mengikuti trend Tanah Abang zaman now sekarang ini, biasanya pembagian setoran tidak mutlak sama. Persis gaya Tanah Abang, bila untuk atasan (Boz atau Ketua) 100 % tapi untuk bawahannya (Anggota) cukup separuhnya alias 50 % saja. Dan yang kita pernah dengar pula dalam persidangan korupsi terungkap kalau setoran dalam mata uang dolar Amerika disebut dengan Apel Amerika, namun bila setoran dalam bentuk nilai rupiah cukup dengan sebutan Apel Malang. Demikian juga untuk kreatifitas penyamaran nama penerima maupun pemberi setoran.

Agar susah ditebak oleh lembaga anti rasuah agar sulit terlacak jika telephone keduanya disadap, maka istilah-istilah keren seperti Mike Ghifer, Superman, Spiderman, Kapten Amerika, Badman dan lain sebagainya digunakan. Namun pepatah lama mengatakan, sepandai-pandainya tupai meloncat namun sekali waktu jatuh juga. Dan kini telah terbukti bahwa, banyak pejabat daerah (dari Gubernur hingga Walikota) tertangkap tangan terima suap pengurusan izin lokasi. Ketua dan Anggota lembaga tertentu tersandung masalah gratifikasi uang ketok palu, Hakim dan Panitera tertangkap tangan oleh KPK terima suapan dana dari yang berperkara dan sebagainya. Bahkan belakangan banyak yang kena ciduk KPK gara-gara pengakuan dan kesaksian terdakwa korupsi yang menyanyi merdu setelah berpredikat Justice Collaborator (JC). Hikmahnya jelas, bak menangkap ikan tapah dengan umpannya anak lele sangatlah tepat diterapkan.

AMPUHNYA PERLU DITEPIS
Dalam suatu organisasi, apakah dalam bidang politik, pemerintahan maupun perusahaan baik plaat merah, kuning maupun plaat hitam budaya setoran ini menjadi ukuran berhasil tidaknya seseorang menduduki jabatan basah di strata yang anggarannya besar. Penerapan budget oriented seakan memaksa agar anggaran yang telah disetujui Direksi perusahaan harus habis dalam waktu satu tahun anggaran berjalan. Walau secara terbuka dan jelas untuk jabatan tertentu, memerlukan keahlian tertentu maupun kopetensi tertentu namun semua itu bisa di kalahkan oleh keahlian seseorang itu “mencarikan dan menyetorkan” uang atau barang itu tadi, Dan bahkan, saking nekatnya kadang-kadang ada oknum tertentu mengabaikan resiko jabatan yang boleh jadi ada sanksi pidananya. Rupanya gaji besar yang telah diberikan oleh negara atau oleh perusahaan tempat dia bekerja tidak menjamin seseorang itu jujur dan tidak korupsi.

Ternyata kejujuran dan tidak korupsi itu menjadi barang langka dan bahkan keberadaanya akan dimusuhi oleh oknum koruptor. Sehingga suburnya praktek ini dimana-mana dan akan semakin ampuh jika lapisan atas organisasi (atasan) memang senang dan menginginkaan setoran dari bawahannya. Dan enggak usah heran jika kelompok ini berhimpun dalam satu kesatuan yang organisasinya sulit dimasuki orang lain yang tidak “sepaham” dan tidak sealiran korup. Fungsi internal audit kadang menjadi tumpul, karena kelompok ini punya cara-cara jitu menaklukkannya. Hanya saja kurang elok jika perbuatan jelek semacam ini disebut berjamaah. Lebih paas kalau disebut “keroyokan” mengemplang uang rakyat. Negara akan aman dan fokus mensejahterakan rakyatnya jika pemimpinnya amanah memegang janji dan sumpah. Sehingga semboyan : “kerja, yes. Setoran, No !” itulah yang harus dibudayakan sebagai prinsip. Syarat integritas seseorang untuk diangkat dan menduduki jabatan tertentu adalah mutlak, dan bukan hanya ditunjukkan kepada secarik kertas yang bernama “Fakta Integritas” itu saja tapi benar-benar rekam jejaknya Ybs itu benar-benar bersih.

Untunglah negara kita saat ini dipimpin oleh orang-orang yang bersih, dan untung pula ada KPK, sebagai lembaga anti rasuah yang sangat perlu kita dukung usaha dan perjuangannya guna menepis budaya setoran yang menjadi momok kehancuran bangsa ***). goeril

donasi relawan lahatonline.com
Bagikan ke :
Share on Facebook Share on Google+ Tweet about this on Twitter Email this to someone Share on Whatsapp

BERITA TERKINI

LAHAT DALAM POTRET

LAHAT
MERAPI TIMUR - MERAPI BARAT - MERAPI SELATAN
PULAU PINANG - GUMAY ULU - GUMAY TALANG - LAHAT SELATAN
KOTA AGUNG - MULAK ULU - MULAK SEBINGKAI - PAGAR GUNUNG - TANJUNG TEBAT

LAHAT - Rabu, 27-Maret-2024 - 17:54

Guru Penggerak Terus Bertambah 

selengkapnya..

TANJUNG SAKTI PUMU - TANJUNG SAKTI PUMI

Nak Keruan Gale

Seni Budaya

Wisata

Almamater